Ada satu hadits yang cukup populer di kalangan kaum
muslim: “umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan yang
berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.” Ramalan Nabi
dalam hadits tersebut terasa murung bukan hanya karena perpecahan umat
ke dalam beragam aliran digambarkan sebagai sesuatu yang tak terelakkan,
melainkan juga karena sebagian besar dari mereka oleh hadits tersebut
divonis sesat dan bakal masuk neraka. Hanya satu kelompok saja yang
Islamnya benar dan layak masuk surga.
Dalam hadits di atas, Nabi tidak menegaskan secara eksplisit siapa
satu kelompok yang selamat (firqah najiyah) itu. Ini pada gilirannya
membuka peluang bagi golongan Islam tertentu untuk mengklaim sebagai
satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka
menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam
ranah teologi Islam, di mana aliran-aliran yang saling bertikai kerap
melempar tuduhan kafir satu sama lain.
Singkat kata, ramalan Nabi dalam hadits di atas secara selintas
justru terkesan menjadi dalil pembenar bagi intoleransi antar sesama
muslim dan eksklusivisme di kalangan umat. Tapi apa betul kesan selintas
ini?
Kalau yang kita tanya Imam al-Ghazali, barangkali ia akan dengan
tegas menjawab tidak betul. Al-Ghazali membantah kesimpulan bahwa
hadits ramalan di atas menyuburkan intoleransi dan eksklusivisme dalam
berislam dengan sejumlah alasan:
Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam
yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang
langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan
kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian”
dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata
lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan
terselamatkan semua di akhirat. Alasan kedua, hadits di atas bukanlah
satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru
bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku
akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu
kelompok.”
Al-Ghazali selanjutnya berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama (furu’), yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.
Al-Ghazali di sini sebenarnya hendak mengatakan bahwa hampir semua
pertikaian pendapat dalam soal-soal teologi antara kaum mu’tazilah yang
rasionalis versus ahlul hadits yang tesktualis, atau antara kaum Sunni
dan Syi’ah, adalah pertikaian soal-soal sekunder yang masih dalam
koridor keIslaman. Dengan kata lain, pertikaian pendapat tersebut tidak
menjadikan mereka sesat. Kalau dalam soal teologi saja begitu jembar
ranah toleransinya, apalagi dalam soal syari’ah dan fiqh.
Pandangan Al-Ghazali ini menarik karena ia membalikkan nada murung
ramalan Nabi dalam hadits di atas menjadi lebih rileks dan cerah.
Keragaman aliran Islam diterima sebagai rahmat, bukan kutukan. Selama
mereka masih percaya pada tiga pilar iman di atas, maka silang pendapat
di antara mereka tidak akan menjerumuskannya ke dalam kekafiran.
Spirit toleransi yang disuarakan Al-Ghazali ini tampaknya diamini dan
bahkan diperluas oleh Muhammad Abduh yang menulis bahwa: “apabila seorang muslim menyatakan satu
pendapat yang kalau dilihat dari seratus sisi tampak kufur, tapi ada
satu sisi saja yang terlihat masih dalam iman, maka orang tersebut tidak
bisa dicap sebagai kafir.”
Jadi ternyata, dalam soal-soal keislaman, menjadi sesat itu tidak gampang.
