Mendengar nama Nietzsche, ingatan kita langsung dibawa ke sosok filsuf yang dengan lantang meneriakkan kematian tuhan. Requiem Aeternam Deo! (semoga tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi). Pemberontakan Nietzsche tersebut telah membuat gempa bumi dahsyat di Eropa, karena menyerang akar kultur barat (tradisi Yudeo-Kristiani). Sebuah gempa dahsyat yang getarannya masih terasa sampai sekarang.
Persoalannya
sekarang, kita perlu memahami mengapa Nietzsche berkeras membunuh
tuhan. Filsuf sekaliber beliau pasti memiliki alasan kuat untuk
mematikan tuhan.
Dasar
bangunan argumentasi ateisme Nietzsche adalah filsafat manusianya.
Nietzsche, sperti layaknya humanis-sekuler lainnya, memandang manusia
sebagai makhluk yang menempasti posisi khusus dalam tatanan kosmos.
Namun demikian, berbeda dengan para filsuf rasionalis, Nietzsche
berkeras bahwa kekhususan manusia tidak terletak pada rasionya,
melainkan kehendak. Persisnya adalah apa yang disebutnye sebagai
kehendak berkuasa.
Konsep Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa berkaitan erat dengan konsep filsafat hidup (lebenphilosophie)
tentang hidup. Tradisi filsafat hidup memandang hidup bukan semata-mata
proses biologis, melainkan arus yang mengalir, meretas dan tidak tunduk
pada apapun yang mematikan gerak hidup. Nietzsche sendiri memandang
hidup sebagai insting atas pertumbuhan, kekalahan dan penambahan kuasa.
Pendeknya, hidup menurut Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa!
Absennya
kehendak kuat untuk berkuasa membuat manusia menjadi lemah, serba
takut, serba kalah dan menyerahkan hidupnya untuk diatur oleh berbagai
macam pedoman eksternal. Nietzsche mengemukakan konsepnya tentang ideal
asketisme. Ideal asketisme adalah idealisasi, sublimasi rasa sakit,
benci, dendam, kelemahan dan ketidakberdayaan menjadi suatu yang
bermakna supaya lebih bisa ditahan. Nietzsche menyalahkan moralitas
kristiani sebagai bentuk ideal asketisme. Demi mempertahankan
kedudukannya, Nietzsche melakukan genealogi untuk menelusuri asal usul
nilai moral.
Nietzshe
mengemukakan bahwa suatu ketika masyarakat terpilah menjadi dua kelas,
yaitu budak dan kelas aristokrat. Kelas budak, dalam perspektif
Nietzsche, bukanlah kelas tertindas melainkan sekawanan orang yang tak
berbakat dan lemah. Miskin dalam stamina, kesehatan, energi, vitalitas,
semangat, tidak menarik secara fisikal dan seksual. Serba kekurangan
yang membuat hidup mereka menderita dan marah terhadap kemuraman hidup
mereka. Mereka kemudian juga benci, cemburu dan dendam terhadap kelas
aristokrat yang memiliki apa-apa yang tidak mereka miliki (kesehatan,
energi, vitalitas dan lain-lain). Perang terhadap kelas aristokrat tak
membawa hasil apa-apa, sampai pada suatu ketika kelas budak menggunakan
senjata terakhir mereka: pembalikan niali-nilai. Mereka membalik
nilai-nilai aristokrat yang tadinya mereka anggap tinggi menjadi
niali-nilai rendah yang akan dibalas tuhan di akhirat. Dendam mereka
terhadap kelas tuan terlampiaskan dengan mematok nilai-nilai aristokrat
sebagai ‘jahat’. Kelas budak akhirnya berdamai dengan kegagalan,
kelemahan, ketakberdayaan mereka dengan meluhurkan semua itu dan
meletakkan semua di luarnya sebagai ‘jahat’.
Kemanusiaan
yang termiskinkan oleh nilai-nilai melemahkan kelas budak, menurut
Nietzsche, sudah saatnya dibongkar. Langkah pertama pembongkaran
nilai-nilai budak adalah pembunuhan tuhan sebagai idealisasi rasa benci,
dendam ketidakberdayaan kelas budak menghadapi kelas aristokrat. Tuhan
adalah pelipur lara kelas budak yang menjamin dendam mereka akan
terlampiaskan dengan menghukum yang jahat di akhirat. Tuhan adalah
jaminan bagi kelas budak utnuk berdamai dengan kegagalan, kelemahan dan
ketakberdayaan, karena semua itu akan tekompensasi oleh hadiah surgawi.
Pembunuhan tuhan sudah tak terelakkan lagi guna mentransvaluasi nilai-nilai dan memunculkan adimanusia (ubermensch)
yang afirmatif terhadap hidup dan mengakomodasi kehendak berkuasa
sebagai nilai tertinggi. Adimanusia, menurut Nietzsche, akan
menggantikan posisi tuhan, karena ia sendiri menentukan yang baik bagi
dirinya (suatu peralihan dari ‘kamu harus’ ke ‘saya ingin’). Adimanusia
jualah yang nantinya akan menganut amor fati (cinta kasih) dan percaya akan kembalinya secara sama segala sesuatu (eternal recurrene of the same). Amor fati adalah
kecintaan akan hidup ini dan ketidaksudian untuk melarikan diri ke
dunai akhirat sebagai kompensasi penderitaan di dunia ini. Konsekuansi
dari amor fati adalah tiadanya akhirat sebagai keabadian
sejati yang mendegradasikan hidup duniawi sebagai kesementaraan tanpa
makna, akhirat dimana tuhan akan mengeksekusi yang jahat dan menghadiahi
yang baik (versi budak tentu saja).
Ketiadaan tuhan dan akhirat
disampaikan Nietzsche lewat gagasanya tentang kembalinya segala sesuatu
secara sama. Bahwasanya dunia menjadi bernilai ketika tuhan sudah
lenyap; apa pun yang pergi akan kembali lagi, apa pun yang kering akan
merekah lagi. Dunia yang kita hidupi sekarang dapat dikatakan sebagai
abadi dan divine; sifat-sifat yang tadinya hanya dilekatkan pada tuhan transenden.
Singkatnya tuhan adalah absurd karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dia telah mendorong orang untuk takut terhadap hasrat, tubuh, seksualitas mereka sendiri dan mempromosikan moralitas belas kasih yang membuat kita lemah. Tuhan telah lama digunakan untuk mengasingkan manusia dari kemanusiaan melalui tindakan menolak dunia (asketisme)
