Tuhan tentu saja bukan manusia. Namun tanpa sadar ternyata saya dan mungkin juga anda kadang menempatkan posisi Tuhan tidak ubahnya seperti manusia.
Manusia adalah mahluk cerdas yang selalu berpikir. Manusia sadar bahwa di luar dirinya ada kekuatan lain yang lebih berkuasa. Kekuatan besar yang sangat baik hati yang telah menciptakan gunung, kehidupan, hujan, panen melimpah dan beragam kesenangan. Dilain pihak, kekuatan besar ini juga menakutkan karena menciptakan petir, banjir, gunung meletus dan kematian.
Sebagai mahluk yang memiliki RASA (takut, kagum, takjub dll) maka sepertinya wajar kalau manusia menaruh hormat pada Sang Kekuatan Besar tersebut. Rasa hormat ditunjukkan dengan ritual, panjatan doa dan sesembahan hasil bumi, hasil panen, binatang buruan dll.
Tuhan Gunung dan Pohon Besar
Dimanakah Sang Kekuatan Besar tersebut berada?. Tempatnya mungkin di gunung?, mungkin di tempat yang tinggi seperti pohon?, atau bersemayam di balik batu besar?. Itu tidak penting, yang jelas harus ada arah yang jelas dan seragam, maka rasa terima kasihpun diarahkan pada arah tertentu. Gunung, pohon atau sebongkah batu hanyalah sebagai Penentu arah.
Penghormatan, rasa terima kasih dan rasa kagum diexpresikan dengan berbagai cara yaitu menari, menyanyi, jingkrak jingkrak, manum tuak, bakar dupa dan kemenyan atau duduk membatu tidak bergerak. Itu juga tidak penting, apapun caranya yang jelas mereka melakukannya sebagai tanda ekpresi dari rasa senang dan hormat. Dengan selalu mengucapkan terima kasih maka bathin menjadi terpuaskan.
Tuhan Patung
Seiring perjalanan waktu maka kerinduan dan keinginan selalu dekat dengan penciptanya menjadi semakin besar. Pada masa itu pola pikir manusia tidak akan mempu membayangkan sesuatu yang tidak kelihatan, jadi wujud dirasa sangat penting. Akhirnya setelah memeras imaginasi maka Kekuatan Besar tersebut mulai dibuatkan wujudnya yang lebih jelas, memiliki wajah, mata, tangan dan kaki dst.
Kekuatan Besar ini kadang dibuat dengan memiliki banyak tangan sebagai simbol mampu mengerjakan banyak tugas atau memilki banyak kepala sebagai simbul kecerdasan atau kekuasaan dst. Akhirnya Kekuatan Besar ini mulai tampil dengan wajah baru, lengkap dengan nama dan gelarnya yaitu Tuan, Tuhan, God, Lord, Dewa, Hyang ataupun nama lainnya.
Apakah patung itu adalah Tuhan? Bukan, akan tetapi patung adalah benda mati, sekedar alat bantu, Spiritual Tool (alat spiritual) atau personifikasi agar lebih mudah membayangkan Tuhan. Harap diingat bahwa pada masa itu, manusia tidak sepintar sekarang. Tidak semua orang mampu membayangkan sesuatu yang tidak kelihatan sehingga patung atau gambar adalah mutlak diperlukan.
Kemampuan tiap bangsa berimaginasi adalah berbeda. Ada bangsa yang mampu mencipatkan jutaan image seperti agama-agama yang ada di India, sedangkan negara yang peradaban seni dan imaginasinya rendah, ya cukup puas dengan bentuk Tuhan yang sangat sederhana atau tidak jarang cukup puas hanya dengan memuja sebongkah batu hitam dan lumutan.
Rumah Tuhan
Bentuk Tuhan sudah diciptakan namun apa daya, hidup tetap saja susah. Cuaca buruk, panen gagal, ikan dan binatang buruan semakin sedikit. Manusia semakin banyak jadi mulut yang harus disuapi menjadi semakin bertambah. Penderitaan menjadi semakin lengkap karena bencana alam seperti banjir, gunung melatus atapun ombak besar seakan tidak kunjung berakhir.
Mungkinkah ada yang salah dari perlakuan kita pada Tuhan? Mungkinkah Tuhan mulai marah karena kita telantarkan Tuhan tanpa rumah, sedangkan kita tidur berhangat memeluk istri bantal guling di dalam rumah? Mana sih hati nurani kita? Akhirnya Tuhan-pun mulai dibuatkan rumah dengan harapan agar Tuhan betah dan senang.
Hubungan manusia dan Tuhannya yang awalnya berupa jalinan kedekatan antara manusia dan Tuhan di alam bebas berubah menjadi terkotak-kotak dengan batasan sekat dan tembok yang tebal yang selanjutnya disebut dengan nama Rumah Ibadah.
Tuhan Zat
Berkembangnya peradaban maka membuat manusia menjadi semakin cerdas. Manusia menjadi sadar bahwa menyamakan Tuhan dalam bentuk patung atau manusia adalah pelecehan dan salah besar. Pantas saja bencana tidak kunjung berakhir.
Maka revolusi Tuhanpun mulai dilakukan besar besaran. Patung ditendang, dirobohkan atau bahkan dirudal tanpa ampun. Tuhanpun dikembalikan ke posisi semula yaitu tanpa wujud dan tanpa bentuk.
Yang dihancurkan adalah patungnya sedangkan filosofi tentang Tuhannya tetap masih tetap dilestarikan. Seperti sudah ditulis di bagian awal, patung atau berhala adalah penanda arah. Dengan lenyapnya siBerhala bukan berarti semua orang bebas sembahyang ke arah mana saja. Mereka masih tetap saja menghadap ke arah bekas berhala tersebut dulu diletakkan.
Tuhan Masa Kini
Tuhan sudah ditemukan! Ya benar dan pecarian Tuhanpun praktis dihentikan. Tuhan sudah tidak perlu dicari. Lha kan sudah jelas dan sudah ditulis di buku suci? Jadi mau dicari apa lagi? Tuhan-pun menjadi kecil, tidak berdaya, terkurung dalam kitab suci bahkan tidak jarang diklaim dan dipatenkan sebagai hak milik bangsanya sendiri.
Cerita selanjutnya sepertinya sudah bisa ditebak bukan? Perang dan kerusuhan atas nama Tuhan terjadi di banyak tempat. Kejadian mengerikan, tidak masuk akal diluar nalar-pun dipertontonkan dan semuanya itu dilakukan atas nama Tuhan ! Tuhan bukan manusia, tapi memiliki sifat seperti manusia. Itulah anggapan manusia sekarang terhadap Tuhan.
Tuhan jadi bersifat seperti manusia juga, senang bukan kepalang kalau dipuja puji. Sedangkan kalau disangkal atau dilupakan Tuhan menjadi marah marah. Yang lebih berbahaya itu kalau Tuhan dimadu atau di-dua-kan, bisa ngamuk kesana-kemari. Sejak kapan Tuhan menjadi emosi-an dan uring-uringan begini?
Tuhan menjadi aneh dan manusiapun tidak kalah anehnya. Kalau dulu seseorang atau masyarakat berdoa agar turun hujan, panen atau tangkapan ikan melimpah, sekarang masyarakat berdoa agar kesebelasan sepakbola berhasil menang, berdoa agar menang perang, berdoa agar kelompok atau negara tertentu hancur. Kenapa tidak mendoakan negeri sendiri agar makmur?
Manusia adalah mahluk cerdas yang selalu berpikir. Manusia sadar bahwa di luar dirinya ada kekuatan lain yang lebih berkuasa. Kekuatan besar yang sangat baik hati yang telah menciptakan gunung, kehidupan, hujan, panen melimpah dan beragam kesenangan. Dilain pihak, kekuatan besar ini juga menakutkan karena menciptakan petir, banjir, gunung meletus dan kematian.
Sebagai mahluk yang memiliki RASA (takut, kagum, takjub dll) maka sepertinya wajar kalau manusia menaruh hormat pada Sang Kekuatan Besar tersebut. Rasa hormat ditunjukkan dengan ritual, panjatan doa dan sesembahan hasil bumi, hasil panen, binatang buruan dll.
Tuhan Gunung dan Pohon Besar
Dimanakah Sang Kekuatan Besar tersebut berada?. Tempatnya mungkin di gunung?, mungkin di tempat yang tinggi seperti pohon?, atau bersemayam di balik batu besar?. Itu tidak penting, yang jelas harus ada arah yang jelas dan seragam, maka rasa terima kasihpun diarahkan pada arah tertentu. Gunung, pohon atau sebongkah batu hanyalah sebagai Penentu arah.
Penghormatan, rasa terima kasih dan rasa kagum diexpresikan dengan berbagai cara yaitu menari, menyanyi, jingkrak jingkrak, manum tuak, bakar dupa dan kemenyan atau duduk membatu tidak bergerak. Itu juga tidak penting, apapun caranya yang jelas mereka melakukannya sebagai tanda ekpresi dari rasa senang dan hormat. Dengan selalu mengucapkan terima kasih maka bathin menjadi terpuaskan.
Tuhan Patung
Seiring perjalanan waktu maka kerinduan dan keinginan selalu dekat dengan penciptanya menjadi semakin besar. Pada masa itu pola pikir manusia tidak akan mempu membayangkan sesuatu yang tidak kelihatan, jadi wujud dirasa sangat penting. Akhirnya setelah memeras imaginasi maka Kekuatan Besar tersebut mulai dibuatkan wujudnya yang lebih jelas, memiliki wajah, mata, tangan dan kaki dst.
Kekuatan Besar ini kadang dibuat dengan memiliki banyak tangan sebagai simbol mampu mengerjakan banyak tugas atau memilki banyak kepala sebagai simbul kecerdasan atau kekuasaan dst. Akhirnya Kekuatan Besar ini mulai tampil dengan wajah baru, lengkap dengan nama dan gelarnya yaitu Tuan, Tuhan, God, Lord, Dewa, Hyang ataupun nama lainnya.
Apakah patung itu adalah Tuhan? Bukan, akan tetapi patung adalah benda mati, sekedar alat bantu, Spiritual Tool (alat spiritual) atau personifikasi agar lebih mudah membayangkan Tuhan. Harap diingat bahwa pada masa itu, manusia tidak sepintar sekarang. Tidak semua orang mampu membayangkan sesuatu yang tidak kelihatan sehingga patung atau gambar adalah mutlak diperlukan.
Kemampuan tiap bangsa berimaginasi adalah berbeda. Ada bangsa yang mampu mencipatkan jutaan image seperti agama-agama yang ada di India, sedangkan negara yang peradaban seni dan imaginasinya rendah, ya cukup puas dengan bentuk Tuhan yang sangat sederhana atau tidak jarang cukup puas hanya dengan memuja sebongkah batu hitam dan lumutan.
Rumah Tuhan
Bentuk Tuhan sudah diciptakan namun apa daya, hidup tetap saja susah. Cuaca buruk, panen gagal, ikan dan binatang buruan semakin sedikit. Manusia semakin banyak jadi mulut yang harus disuapi menjadi semakin bertambah. Penderitaan menjadi semakin lengkap karena bencana alam seperti banjir, gunung melatus atapun ombak besar seakan tidak kunjung berakhir.
Mungkinkah ada yang salah dari perlakuan kita pada Tuhan? Mungkinkah Tuhan mulai marah karena kita telantarkan Tuhan tanpa rumah, sedangkan kita tidur berhangat memeluk istri bantal guling di dalam rumah? Mana sih hati nurani kita? Akhirnya Tuhan-pun mulai dibuatkan rumah dengan harapan agar Tuhan betah dan senang.
Hubungan manusia dan Tuhannya yang awalnya berupa jalinan kedekatan antara manusia dan Tuhan di alam bebas berubah menjadi terkotak-kotak dengan batasan sekat dan tembok yang tebal yang selanjutnya disebut dengan nama Rumah Ibadah.
Tuhan Zat
Berkembangnya peradaban maka membuat manusia menjadi semakin cerdas. Manusia menjadi sadar bahwa menyamakan Tuhan dalam bentuk patung atau manusia adalah pelecehan dan salah besar. Pantas saja bencana tidak kunjung berakhir.
Maka revolusi Tuhanpun mulai dilakukan besar besaran. Patung ditendang, dirobohkan atau bahkan dirudal tanpa ampun. Tuhanpun dikembalikan ke posisi semula yaitu tanpa wujud dan tanpa bentuk.
Yang dihancurkan adalah patungnya sedangkan filosofi tentang Tuhannya tetap masih tetap dilestarikan. Seperti sudah ditulis di bagian awal, patung atau berhala adalah penanda arah. Dengan lenyapnya siBerhala bukan berarti semua orang bebas sembahyang ke arah mana saja. Mereka masih tetap saja menghadap ke arah bekas berhala tersebut dulu diletakkan.
Tuhan Masa Kini
Tuhan sudah ditemukan! Ya benar dan pecarian Tuhanpun praktis dihentikan. Tuhan sudah tidak perlu dicari. Lha kan sudah jelas dan sudah ditulis di buku suci? Jadi mau dicari apa lagi? Tuhan-pun menjadi kecil, tidak berdaya, terkurung dalam kitab suci bahkan tidak jarang diklaim dan dipatenkan sebagai hak milik bangsanya sendiri.
Cerita selanjutnya sepertinya sudah bisa ditebak bukan? Perang dan kerusuhan atas nama Tuhan terjadi di banyak tempat. Kejadian mengerikan, tidak masuk akal diluar nalar-pun dipertontonkan dan semuanya itu dilakukan atas nama Tuhan ! Tuhan bukan manusia, tapi memiliki sifat seperti manusia. Itulah anggapan manusia sekarang terhadap Tuhan.
Tuhan jadi bersifat seperti manusia juga, senang bukan kepalang kalau dipuja puji. Sedangkan kalau disangkal atau dilupakan Tuhan menjadi marah marah. Yang lebih berbahaya itu kalau Tuhan dimadu atau di-dua-kan, bisa ngamuk kesana-kemari. Sejak kapan Tuhan menjadi emosi-an dan uring-uringan begini?
Tuhan menjadi aneh dan manusiapun tidak kalah anehnya. Kalau dulu seseorang atau masyarakat berdoa agar turun hujan, panen atau tangkapan ikan melimpah, sekarang masyarakat berdoa agar kesebelasan sepakbola berhasil menang, berdoa agar menang perang, berdoa agar kelompok atau negara tertentu hancur. Kenapa tidak mendoakan negeri sendiri agar makmur?